Mahasiswa UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Kenapa kata “tolong,” “maaf,” dan “terima kasih” kini terasa langka padahal itu adalah pondasi dasar berkomunikasi? Apakah kita sudah terlalu egois dan acuh hingga lupa menghargai orang lain? Kata-kata itu bukan sekadar formalitas, melainkan tanda empati dan rasa hormat yang mulai memudar. Jika terus diabaikan, bukan hanya komunikasi yang rusak, tapi juga kemanusiaan dan saling menghargai akan hilang.
Pernahkah kita merasa dunia semakin kasar? Orang-orang berbicara seenaknya, membentak tanpa alasan, dan enggan mengakui kesalahan. Padahal, ada tiga kata sederhana yang bisa menjadi solusi untuk mengembalikan kehangatan dalam interaksi sosial kita, yaitu kata ‘tolong, maaf, dan terima kasih’. Ironisnya, kata-kata ini justru semakin jarang terdengar, seolah hanya menjadi formalitas tanpa makna atau bahkan tak dianggap penting. Apa yang sebenarnya terjadi dengan masyarakat kita? Apakah kita benar-benar kehilangan sopan santun?
Berbahasa Sebagai Praktik Tindakan Sosial
Dalam kehidupan masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi tata krama dan unggah-ungguh, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai cerminan nilai budaya yang diwariskan turun-temurun. Salah satu wujud dari kehidupan berbudaya melalui bahasa terlihat dalam penggunaan tiga ungkapan penting: tolong, maaf, dan terima kasih. Dalam tradisi Jawa, tolong berarti permohonan bantuan yang diucapkan dengan rendah hati dan penuh sopan santun, sebagai bentuk penghormatan terhadap orang lain yang dimintai pertolongan (Septi E.R & Nurhayati, 2020). Kata ini mencerminkan sikap andhap asor dan rasa hormat terhadap sesama, serta menjadikan permintaan bukan sebagai perintah, melainkan sebagai ajakan yang menghargai kehendak orang lain. Sementara itu, maaf dalam tradisi Jawa dipahami sebagai pengakuan atas kesalahan yang disampaikan dengan ketulusan hati dan niat untuk memperbaiki diri, mencerminkan nilai tepa slira atau tenggang rasa (Setyowati, 2023). Ungkapan ini bukan hanya sekadar permintaan ampun, tetapi juga bentuk kesadaran diri dan kerendahan hati dalam menjaga harmoni sosial.
Adapun terima kasih dipandang sebagai ungkapan rasa syukur dan penghargaan atas bantuan atau kebaikan orang lain, biasanya diucapkan dengan nada halus dan penuh rasa hormat, yang mencerminkan karakter masyarakat Jawa yang menjunjung nilai andhap asor (Sasti, 2020). Ketiga kata ini menunjukkan betapa bahasa dalam tradisi Jawa tidak hanya menyampaikan makna literal, tetapi juga menyimpan etika dan budaya. Dengan membiasakan diri mengucapkan tolong, maaf, dan terima kasih secara tulus, kita tidak hanya menjaga sopan santun, tetapi juga turut melestarikan nilai-nilai luhur yang membentuk jati diri masyarakat berbudaya.
Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson (1987) yang dikutip dalam buku yang berjudul “Kesantunan Berbahasa, Pendidikan Karater, dan Pembelajaran Yang Humanis” (Pramujiono dkk., 2020). Teori tersebut menjelaskan bahwa dalam komunikasi, pembicara berusaha menjaga “muka” atau citra diri lawan bicara agar tetap terjaga dan tidak merasa terancam. Konsep “muka” ini meliputi dua aspek, yaitu positive face yang berkaitan dengan keinginan seseorang untuk dihargai dan disukai, serta negative face yang berkaitan dengan keinginan seseorang untuk mendapatkan kebebasan dan ruang pribadi tanpa gangguan.
Dalam interaksi, tindakan berbicara seringkali berpotensi mengancam muka lawan bicara, seperti saat memberi kritik atau meminta sesuatu. Oleh karena itu, pembicara menggunakan strategi kesantunan sebagai upaya menjaga hubungan baik dengan lawan bicara. Strategi ini biasanya terlihat dalam pemilihan kata-kata yang sopan dan penuh perhatian, misalnya penggunaan kata “tolong,” “maaf,” dan “terima kasih.” Ketiga kata tersebut merupakan bentuk kesantunan positif yang menunjukkan rasa hormat dan penghargaan terhadap perasaan orang lain. Dengan menggunakan strategi kesantunan, komunikasi menjadi lebih harmonis dan efektif karena semua pihak merasa dihargai dan nyaman dalam berinteraksi.
Dampak Hilangnya Kesantunan
Tidak terbiasanya masyarakat menggunakan kata-kata ini ternyata membawa dampak negatif yang besar. Saat seseorang jarang mengatakan “tolong”, mereka cenderung bersikap otoriter dan merasa orang lain wajib memenuhi permintaannya. Tanpa kata “maaf”, ego semakin meninggi, mengikis rasa tanggung jawab atas kesalahan yang diperbuat. Sementara itu, mengabaikan “terima kasih” membuat seseorang lupa untuk menghargai orang lain, menjadikan lingkungan terasa dingin dan penuh kesenjangan emosional (Kurniadi dkk., 2017).
Dalam kehidupan sosial, penggunaan tiga kata ini bukan hanya soal sopan santun, tetapi juga membangun hubungan yang lebih baik. Orang yang terbiasa mengucapkan “tolong” saat meminta bantuan akan lebih dihormati, bukan ditakuti. Mengakui kesalahan dengan kata “maaf” menunjukkan kedewasaan dan kesadaran diri, sementara ucapan “terima kasih” bisa meningkatkan kebahagiaan dan rasa dihargai bagi orang lain.
Saatnya Mengembalikan Kebiasaan Baik
Sudah saatnya kita membudayakan kembali penggunaan tiga kata ini dalam kehidupan sehari-hari. Ini bukan perkara sepele, melainkan bentuk penghormatan terhadap sesama. Setiap individu memiliki tanggung jawab untuk menormalisasi kembali kesopanan dalam berbicara, baik di lingkungan keluarga, sekolah, tempat kerja, maupun di dunia maya.
Orang tua dan guru memiliki peran penting dalam membiasakan anak-anak mengucapkan “tolong, maaf, dan terima kasih” sejak dini. Memberikan contoh nyata jauh lebih efektif daripada sekadar menyuruh. Begitu pula di tengah masyarakat, interaksi yang dilandasi kesopanan dan penghargaan terhadap sesama akan menciptakan lingkungan yang lebih harmonis dan penuh empati. Ketika seseorang terbiasa mengucapkan "tolong", "maaf", dan "terima kasih" dalam kehidupan sehari-hari, hubungan sosial menjadi lebih kuat dan saling menghormati. Di era digital, kita juga harus lebih berhati-hati dalam berkomunikasi. Percakapan melalui teks sering kali kehilangan nuansa emosi, sehingga penggunaan kata “tolong”, “maaf”, dan “terima kasih” menjadi lebih penting. Ucapan sederhana ini bisa mencegah kesalahpahaman dan mempererat hubungan, meskipun hanya melalui layar.
Mengubah kebiasaan memang tidak mudah, tetapi bukan berarti mustahil. Perubahan selalu dimulai dari langkah kecil yang dilakukan secara konsisten. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mulai dengan menerapkan tiga kata ini dalam percakapan sederhana, baik di rumah, di sekolah, di masyarakat, maupun di ruang publik. Semua bisa dimulai dari diri sendiri, dengan memberikan contoh nyata kepada orang-orang di sekitar kita. Ketika kita membiasakan diri mengucapkan "tolong", "maaf", dan "terima kasih", kita turut menanamkan nilai-nilai kesopanan dalam masyarakat. Dengan terus menanamkan kebiasaan ini, kita dapat membentuk lingkungan yang lebih ramah, harmonis, dan saling menghargai.
Jadi, mengapa masih ragu untuk menormalisasi “tolong, maaf, dan terima kasih”? Jika setiap orang mulai menerapkannya dengan kesadaran penuh, bukan tidak mungkin kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih beradab dan penuh empati. Apakah kita mau hidup di dunia di mana rasa hormat dan empati menjadi barang langka? Saatnya kita berani introspeksi dan bertindak, mulai dari hal kecil yang sederhana sebelum semuanya terlambat dan yang tersisa hanyalah komunikasi tanpa hati.
Kurniadi, F., Hilaliyah, H., & Hapsari, S. N. (2017). Membangun Karakter Peserta Didik Melalui Kesantunan Berbahasa. Aksiologiya: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(1), 1–7.
Pohan, S., Ariftha, A., Ramadhan, A. R., & Afif, A. S. (2024). Fenomena Lunturnya 3 Makna Kata (Tolong, Maaf dan Terimakasih) dalam Etika Komunikasi di Kota Medan. Da’watuna: Journal of Communication and Islamic Broadcasting, 4(1).
Pramujiono, A., Suhari, Reza Rachmadtullah, Tri Indrayanti, & Bramianto Setiawan. (2020). Kesantunan Berbahasa, Pendidikan Karater, dan Pembelajaran Yang Humanis. Indocamp.
Sasti, P. M. (2020). Balai Bahasa Jawa Tengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2017.
Septi E.R, A., & Nurhayati, N. (2020). Tindak Tutur Direktif: Realisasi Tindak Tutur Menyuruh dalam Bahasa Jawa pada Keluarga Penutur Jawa. Jurnal Kajian Bahasa, Sastra dan Pengajaran (KIBASP), 3(2), 239–248.
Setyowati, R. (2023). Deiksis Persona Bahasa Jawa Ragam Ngoko dan Krama Dalam Ucapan Idul Fitri Di Detikjatim. Ilmu Budaya: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, Dan Budaya, 7(2), Article 2.