Fatherless: Ketika Peran Ayah Mulai Dilupakan



Oleh: Salsabila Assy Syafa'
Mahasiswa Pendidikan Islam Anak Usia Dini
UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

Seiring pesatnya perkembangan teknologi di era globalisasi ini, ada satu hal yang mulai perlahan menghilang dari ruang keluarga Indonesia yaitu kehadiran emosional ayah. Sayangnya, banyak orang tua yang belum menyadari pentingnya peran ini. Padahal, kehadiran emosional seorang ayah dapat menjadi pondasi penting bagi tumbuh kembang anak, baik secara mental, emosional, maupun sosial.

Di balik keberadaan sosok ayah dalam keluarga, tidak sedikit anak yang justru tumbuh tanpa merasakan kehadiran emosional dari figur tersebut. Kehadiran Ayah bukan sekedar soal fisik yang ikut berperan pada setiap pertumbuhan anak, namun sisi emosional juga perlu terlibat dan mengambil perannya. Fenomena ini dikenal dengan istilah Fatherless. Berdasarkan data dari United Nations Children’s Fund (UNICEF), sekitar 20,9 persen anak-anak di Indonesia pada tahun 2021 tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah. Sementara itu, menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik di tahun yang sama, jumlah anak-anak di Indonesia mencapai 30,83 juta jiwa. Jika kedua data ini dikaitkan, maka diperkirakan ada sekitar 2.999.577 anak di Indonesia yang mengalami kehilangan peran ayah atau Fatherless dalam kehidupannya.

Namun, kenyataanya fenomena Fatherless tidak hanya di alami oleh anak yang di tinggal meninggal ataupun bercerai, melainkan juga pada anak yang mengalami krisis kasih sayang ayah dan kurangnya kesadaran Ayah dalam berperan di dalam keluarga. Keluarga seharusnya menjadi ruang ternyaman dan aman bagi anak ketika setiap orang tua ikut berperan aktif di dalam keluarga. Keluarga bukanlah tentang ayah yang bertugas hanya mencari nafkah, dan Ibu yang harus menangani semua pekerjaan rumah. Sistem ini sebenarnya adalah sistem patriaki yang berselimut dengan alasan membagi tugas satu sama lain tanpa memperdulikan bahwa anak juga membutuhkan kasih sayang dari ayah. Akibatnya, tidak heran jika kemudian Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan tingkat fatherless tertinggi di dunia.

Seorang anak tentu tidak dapat memilih keluarga tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Oleh karena itu, sudah semestinya setiap orang tua menyadari peran penting mereka dalam kehidupan anak. Tanpa disadari, fenomena fatherless juga dapat memberikan dampak serius terhadap perkembangan psikologis anak. Berdasarkan analisis dari berbagai studi, anak-anak yang tumbuh tanpa keterlibatan ayah cenderung mengalami masalah emosional, seperti kesulitan mengenali dan mengekspresikan perasaan mereka. Ketidakhadiran ayah dalam aspek emosional juga dapat menghambat perkembangan emosi anak secara keseluruhan. 

Dampak dari fatherless ini tidak berhenti di masa kanak-kanak, tetapi juga terbawa hingga anak tumbuh dewasa. Pada anak perempuan, kondisi ini dapat meningkatkan risiko terjebak dalam hubungan yang tidak sehat (toxic relationship) atau menjadi lebih rentan terhadap rayuan laki-laki karena minimnya figur ayah sebagai pelindung. Sedangkan pada anak laki-laki yang mengalami kasus ini cenderung akan kehilangan arah dalam memahami perannya sebagai laki-laki. Mereka mungkin tumbuh tanpa kesadaran akan tanggung jawabnya untuk melindungi perempuan, bahkan bisa berperilaku sebaliknya. Tak jarang, kondisi ini juga berkaitan dengan munculnya kasus kekerasan atau pelecehan seksual, termasuk sesama jenis, akibat kurangnya figur panutan laki-laki yang positif di lingkungan keluarga. Selain itu, kasus Fatherless pada anak akan membuat anak kurang percaya diri, dan tidak dapat membedakan mana kebenaran yang sesuai pada saat ia bertindak.

Editor: Ibnu Hasyim






Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak