Generasi Sandwich: Menggendong Dua Generasi di Pundak



Oleh: Pidayutri Astuti

Mahasiswa Universitas Islam Negeri 
Kiai Ageng Muhammad Besari Ponrorogo

Saat ini, banyak anak muda baik yang sudah menikah maupun yang masih lajang harus ikut menanggung beban keluarga. Mereka tidak hanya memikirkan kebutuhan hidup sendiri dan membantu orang tua, tetapi juga sering kali ikut membiayai pendidikan adik-adiknya. Dalam kondisi seperti ini, waktu, tenaga, dan penghasilan harus dibagi untuk dua arah: ke atas untuk orang tua, dan ke bawah untuk adik atau anak. Situasi ini dikenal dengan istilah generasi sandwich, generasi yang terhimpit oleh dua tanggung jawab besar dan harus menanggung beban berat yang sering kali tidak terlihat oleh orang lain.

Belakangan ini, istilah “Sandwich Generation” sering muncul, baik melalui pengalaman sehari-hari di sekitar kita maupun dari berbagai media elektronik. Generasi sandwich merupakan orang-orang yang memiliki peran ganda yang bertanggung jawab atas orang tua dan anggota keluarga (misalnya dengan anak maupun dengan adiknya yang masih tinggal bersama). Fenomena ini semakin marak terjadi di masyarakat, dan menjadi hal yang umum. Namun, hal ini tetap dianggap tabu, di mana membiayai orang tua dan anggota keluarga lainnya sering kali dipandang sebagai kewajiban turun-temurun yang sulit untuk diputuskan. Banyak faktor yang melatar belakanginya, namun pada umumnya ini terjadi karena kegagalan finansial orang tua. Bukan maksud menyalahkan orang tua sepenuhnya, tapi orang tua yang tidak memiliki perencanaan finansial yang baik untuk masa tuanya akan berpotensi besar untuk membuat sang anak menjadi generasi sandwich berikutnya, dan selanjutnya sang anak akan mengikuti jejak orang tuanya kelak sebagai orang tua yang tidak mandiri di masa tuanya.

Peran sebagai generasi sandwich membawa berbagai dampak negatif, baik dari sisi fisik, psikologis, emosional, maupun keuangan. Menjadi generasi sandwich artinya harus bersiap dengan kondisi finansial yang baik. Pos keuangan terbesar adalah untuk biaya kesehatan bagi orang tua yang memasuki usia senja, serta pos anggaran untuk biaya pendidikan anak yang terus meningkat, serta belum lagi biaya hidup untuk kebutuhan sehari- hari tidak terbilang murah.

Salah satu dampak paling mungkin terjadi pada generasi sandwich adalah tingginya tingkat stres dibandingkan orang lain pada kelompok usianya. Mereka perlu menyeimbangkan tanggung jawab antara anak dan orang tua lanjut usia. Menurut data American Psychological Association hampir 40 persen dari generasi sandwich usia 35-50 tahun mengalami stres yang ekstrem. Sttres ini berdampak buruk bagi hubungn dengan orang lain. Selain itu, generasi sandwich pasti mengalami kelelahan fisik karena mereka perlu mengatur kehidupan rumah tangga, pekerjan, sekaligus mengurus anak-anak dan orang tua. Yang menyedihkan, situasi seperti ini kerap dianggap hal yang lumrah. Masih banyak orang tua yang memegang pandangan bahwa anak wajib berkorban demi keluarga, tanpa menyadari bahwa anak juga memiliki keterbatasan kemampuan, baik secara fisik maupun mental.

Tak hanya tekanan dari dalam, generasi sandwich juga harus menghadapi penilaian dari luar. Sering kali, mereka mendapat komentar yang meremehkan seperti anggapan bahwa anak muda seharusnya tidak mudah mengeluh. Padahal, banyak orang tidak menyadari beratnya tanggung jawab yang dipikul beban besar yang sejatinya tidak layak ditanggung seorang diri. Di sini mereka berdiri di tengah, menjadi penopang dua generasi, sering kali mental dan hati yang lelah namun tetap tegar. Diam-diam ada yang menunda mimpi, menahan tangis, dan merelakan ketika masa mudanya dihabiskan untuk berkerja.

Generasi Sandwich bukan hanya generasi yang "terjepit”, tetapi mereka adalah generasi yang menjadi tulang punggung. Namun beberapa orang mengganggap bahwa memberi nafkah orang tua dan ikut membantu biaya sekolah adiknya merupakan hal wajib sebagai bentuk kasih sayang dan bakti kepada orang tua. Namun, sebagian orang merasa terbebani karena kebutuhan diri sendiri masih belum tercukupi baik dari finansial maupun kebutuhan lainnya. Ketika seorang anggota sandwich generation sudah menikah, beban yang dipikul akan semakin berat. Di satu sisi, ia memiliki tanggung jawab utama untuk menafkahi istri dan anak, di sisi lain, orang tua masih membutuhkan dukungan, dan adik yang masih mengenyam pendidikan pun belum mandiri secara finansial. Dalam situasi seperti ini, sang kakak harus membagi pendapatan untuk memenuhi kebutuhan istri, anak, dan keluarganya yang lain. Meskipun secara finansial ia tergolong cukup, tetap diperlukan keseimbangan yang matang antara tanggung jawab pribadi dan keluarga besar. Karena itu, komunikasi yang terbuka dan terarah dengan pasangan menjadi sangat penting agar segala kebutuhan dan kondisi keuangan keluarga dapat dikelola dengan bijak. 

Generasi Sandwich adalah gambaran nyata pengorbanan tanpa tanda jasa yang dilakukan di tengah tekanan tuntutan ekonomi.  Untuk itu, diperlukan solusi nyata seperti edukasi perencanaan keuangan sejak dini, pembagian peran yang adil dalam keluarga, serta dukungan dari lingkungan sekitar agar mereka tidak merasa sendiri. Pemerintah juga perlu menghadirkan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan keluarga, termasuk jaminan hari tua bagi lansia dan bantuan pendidikan bagi keluarga prasejahtera. Dengan langkah-langkah ini, generasi sandwich dapat bernafas lebih lega dan tidak selamanya terjebak dalam peran ganda yang melelahkan. 

Editor: Ibnu Hasyim


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak