Jimpitan: Jejak Kearifan Lokal yang Masih Terjaga Di Tengah Kehidupan Masyarakat Modern

 




Oleh : Ibnu Hasyim 
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan 
UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

Di tengah kehidupan modern yang terus berkembang, masyarakat kini semakin dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, urbanisasi, serta gaya hidup yang serba cepat dan individual. Banyak orang menjadi lebih fokus pada urusan pribadi, sehingga interaksi sosial dan rasa kebersamaan antarwarga mulai menurun. Hal ini bertolak belakang dengan kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang secara kodrati saling membutuhkan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari. Aristoteles bahkan menyebut manusia sebagai zoon politicon, yakni makhluk yang ditakdirkan untuk hidup bersama dalam masyarakat dan menjalin hubungan sosial mulai dari berbicara, bekerja sama, hingga saling membantu. Namun, di tengah kondisi sosial yang kian renggang ini, masih ada warisan budaya lokal yang mampu menjaga nilai-nilai kebersamaan. Salah satunya adalah jimpitan, sebuah tradisi sederhana yang tetap hidup di beberapa daerah, menjadi simbol kepedulian dan gotong royong antarwarga.

Jimpitan berasal dari kata “jumputan” atau “menjumput” yang berarti mengambil sedikit atau memungut. Tradisi ini awalnya dilakukan dengan mengumpulkan beras dalam jumlah kecil secara bersama-sama oleh warga. Seiring perkembangan zaman, bentuk jimpitan mengalami perubahan dari beras menjadi uang karena dinilai lebih praktis dalam pengelolaan dan penggunaannya. Cara pelaksanaannya pun cukup sederhana: warga meletakkan segenggam beras atau sejumlah uang ke dalam wadah kecil, seperti kaleng, yang digantung di depan rumah masing-masing. Nantinya, petugas ronda atau pengurus lingkungan akan mengambil dan mencatat hasil jimpitan tersebut secara rutin.

Tradisi jimpitan bukan hanya sebatas praktik mengumpulkan beras atau uang, tetapi lebih dari itu, jimpitan merupakan simbol nyata dari semangat gotong royong yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Di banyak daerah salah satunya di Desa Sangen Kecamatan Geger Kabupaten Madiun tempat penulis tinggal , jimpitan menjadi pengikat solidaritas sosial, terutama di lingkungan perkampungan atau pedesaan. Warga yang terlibat dalam kegiatan ini tidak memandang besar kecilnya sumbangan, melainkan lebih menekankan pada niat dan konsistensi dalam berbagi. Hal ini mencerminkan filosofi kebersamaan, bahwa sekecil apa pun bantuan, jika dikumpulkan bersama, akan menjadi kekuatan besar yang bermanfaat bagi kepentingan bersama, seperti untuk operasional ronda malam, kegiatan sosial, membantu warga yang sedang mengalami kesulitan ekonomi hingga dana darurat warga. Hal ini menunjukkan bahwa jimpitan mampu bertahan karena bersifat fleksibel dan kontekstual, serta dapat menyesuaikan diri dengan dinamika sosial masyarakat. .

Selain itu, tradisi jimpitan ini tidak hanya menjadi alat penghimpun dana, tetapi juga menjadi ruang tumbuhnya kepercayaan dan interaksi antarwarga. Keberadaan jimpitan secara tidak langsung membentuk sistem kontrol sosial berbasis kesadaran kolektif. Ketika warga secara sukarela menyumbang setiap hari, terbentuklah rasa tanggung jawab dan empati terhadap lingkungan sekitar. Ini menjadi penting karena dalam masyarakat modern, banyak program bantuan yang justru menimbulkan ketergantungan. Sebaliknya, jimpitan mengajarkan kemandirian kepada kelompok masyarakat dengan mengandalkan kekuatan internal tanpa harus menunggu bantuan eksternal dari pemerintah atau lembaga sosial lainnya.

Dengan demikian, jimpitan bukan sekadar peninggalan tradisi dan budaya masa lalu, melainkan sebuah praktik sosial yang mengandung nilai-nilai luhur yang masih relevan hingga kini. Di tengah derasnya arus modernisasi dan melemahnya kepedulian sosial, jimpitan hadir sebagai penyeimbang yang menumbuhkan semangat kebersamaan, solidaritas, dan kemandirian dalam masyarakat. Tradisi ini membuktikan bahwa perubahan zaman tidak selalu harus mengikis nilai-nilai lokal, melainkan menjadi momen untuk memperkuat dan menyesuaikannya dengan kebutuhan masyarakat modern. Oleh karena itu, menjaga dan melestarikan jimpitan bukan hanya soal mempertahankan warisan budaya, tetapi juga upaya membangun masyarakat yang lebih tangguh, peduli, dan berdaya secara kolektif.

Editor: Ibnu Hasyim

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak