Oleh: Rahmadhatul Nur'Azizah
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Istilah healing kini menjadi sangat populer di kalangan Gen Z. Kata ini sering muncul dalam unggahan media sosial dan percakapan sehari-hari. Banyak orang menyebut dirinya sedang healing hanya karena sedang berlibur, mengunjungi kafe, atau sekadar menyendiri. Padahal, dalam ilmu psikologi, healing memiliki makna yang lebih dalam dan tidak sesederhana itu.
Healing merupakan istilah yang berasal dari kata dasar “heal” yang berarti menyembuhkan, membuat sembuh, dan menjadi waras. Dalam konteks psikologi, healing merupakan proses untuk meringankan dan memulihkan beban mental dari seorang individu. Psikolog klinis Veronica Adesla yang dilansir dari kompas.com mengungkapkan bahwa healing merupakan proses pemulihan yang bisa dilakukan secara mandiri maupun dengan bantuan profesional. Salah satu bentuk yang bisa dilakukan secara mandiri atau self healing adalah liburan, asalkan aktivitas tersebut memang efektif dalam memulihkan kondisi fisik maupun mental. Veronica menjelaskan juga bahwa healing dan self healing memiliki perbedaan makna dalam psikologi. Healing yaitu proses penyembuhan yang dapat melibatkan tenaga profesional, sedangkan self healing merupakan upaya pribadi dari individu untuk memulihkan dirinya sendiri.
Gen Z atau generasi Z merupakan generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Mereka juga dikenal sebagai digital natives karena tumbuh besar dengan internet dan teknologi digital sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Popularitas istilah healing banyak digunakan oleh kalangan Gen Z, fenomena ini banyak ditemui dalam unggahan media sosial yang menampilkan aktivitas santai atau liburan dengan caption healing. Banyak Gen Z menggunakan istilah healing tanpa memahami maknanya secara utuh. Mereka menganggap healing sebagai kegiatan santai belaka, seperti liburan, wisata kuliner, atau hanya sekedar nongkrong di kafe. Kegiatan tersebut bisa menjadi bentuk self healing apabila dilandasi niat untuk meredakan stres. Namun dalam banyak kasus, aktivitas ini menjadi bentuk pelarian dari tekanan dan tanggung jawab. Healing tidak cukup dilakukan dengan bersantai, melainkan perlu disertai proses refleksi dan kesadaran diri.
Healing bukan sekadar istirahat fisik, proses ini melibatkan usaha untuk menyeimbangkan kondisi psikologis, termasuk menghadapi luka batin dan tekanan emosional. Ketika makna healing hanya menjadi aktivitas yang menyenangkan, nilai pemulihannya menjadi hilang. Banyak individu merasa cukup dengan aktivitas singkat, padahal beban psikologis yang kompleks membutuhkan perhatian lebih serius. Fenomena ini diperkuat oleh budaya digital yang menjadikan media sosial sebagai panggung pencitraan. Gen Z kerap menunjukkan gaya hidup healing melalui unggahan media sosial yang menarik. Liburan, staycation, atau menikmati kopi estetik dianggap sebagai bagian dari perjalanan healing. Proses pemulihan menjadi bagian dari konten, bukan lagi pengalaman personal yang reflektif.
Healing dilakukan demi validasi sosial, bukan untuk kesehatan mental. Semakin banyak apresiasi yang diterima dari unggahan tentang healing, semakin tinggi pula kecenderungan untuk mengulanginya demi pengakuan. Validasi sosial menjadi motivasi utama, bukan untuk pemulihan. Banyak orang mulai percaya bahwa kesembuhan bisa diperoleh dengan cepat dan mudah, seolah-olah semua orang dapat pulih hanya dengan berjalan-jalan. Pemahaman keliru ini juga berdampak negatif terhadap kesadaran untuk mencari bantuan profesional. Banyak individu memilih self healing dengan cara liburan atau menyendiri, tanpa menyadari bahwa mereka mungkin membutuhkan bantuan psikolog. Gangguan seperti depresi, kecemasan, atau burnout tidak cukup ditangani hanya dengan liburan. Ketika healing disalahartikan, resiko penanganan yang tidak memadai menjadi meningkat.
Maka dari itu hal ini, perlu adanya edukasi yang menyeluruh tentang healing dan self healing. Literasi kesehatan mental harus diperluas, terutama melalui media sosial yang menjadi sumber informasi utama bagi Gen Z. Informasi yang benar, mudah dipahami, dan menarik dapat menjadi alat yang efektif dalam mengoreksi pemahaman yang keliru. Psikolog dan praktisi kesehatan mental dapat berkolaborasi dengan influencer untuk menyampaikan pesan edukatif. Kolaborasi ini penting untuk menjangkau khalayak yang lebih luas dan membentuk narasi healing yang lebih realistis. Healing sebaiknya dipahami sebagai proses yang memerlukan waktu, usaha, dan keberanian, bukan hanya aktivitas singkat yang menyenangkan.
Healing adalah proses penyembuhan menyeluruh yang mencakup pemulihan fisik, mental, dan emosional. Istilah ini tidak seharusnya dipersempit menjadi sekadar gaya hidup atau tren media sosial. Gen Z sebagai generasi yang terbuka terhadap isu kesehatan mental perlu memimpin perubahan cara pandang terhadap healing. Pemahaman yang tepat akan membantu individu mengenali kapan harus melakukan self healing dan kapan harus mencari bantuan profesional.
Healing tidak selalu indah, tetapi selalu bermakna jika dijalani dengan kesadaran dan kejujuran. Proses ini bukan tentang terlihat kuat di hadapan publik, tetapi tentang keberanian untuk mengakui bahwa diri sedang tidak baik-baik saja. Saat healing dimaknai dengan benar, setiap individu dapat menemukan kekuatan dalam proses pemulihan. Healing bukanlah pelarian, melainkan perjalanan menuju pemahaman dan penerimaan diri yang lebih utuh. Dengan pemahaman yang tepat, Gen Z dapat menjadikan healing sebagai pondasi untuk kehidupan mental yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Editor: Ibnu Hasyim
Tags
Humaniora