Pendidikan Kita Sebagai Wajah ketimpangan Sosial

 


Oleh: Mukhamad Miftakhudin Wildani
Mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia
UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Seiring derasnya arus digitalisasi, banyak sekolah berlomba mengadopsi teknologi terkini dari penggunaan kecerdasan buatan dalam asesmen, hingga platform digital kolaboratif yang memfasilitasi diskusi lintas ruang. Namun, kemajuan ini menyisakan pertanyaan besar: apakah modernisasi ini membawa esensi sejati pendidikan, atau justru menggantikan kedalaman berpikir dengan kecepatan klik. 

Bulan Juli 2025 kembali menjadi momen yang sarat makna dalam kalender pendidikan nasional. Tidak hanya sebagai penanda dimulainya tahun ajaran baru, tetapi bulan juli juga menjadi waktu refleksi dari sebuah sistem yang sedang bergulat dengan tantangan zaman. Di tengah kemajuan teknologi yang begitu pesat, pendidikan Indonesia menemukan dirinya berada di titik persimpangan: antara modernisasi yang menjanjikan kemudahan dan efisiensi, dan kebutuhan mendasar akan pendidikan yang tetap manusiawi, merata, serta membumi.

Tekanan capaian akademik yang kian tinggi; kurikulum yang terus berubah tanpa evaluasi menyeluruh, serta ekspektasi masyarakat yang kadang tidak sejalan dengan realita di lapangan, membuat guru dan siswa berada dalam situasi dilematis. Di balik layar laptop dan papan tulis digital, banyak dari mereka yang mempertanyakan makna pembelajaran yang seharusnya membebaskan, bukan membelenggu.

Kesenjangan dan Ketimpangan yang Makin Terlihat

Ironi pendidikan digital di Indonesia semakin terasa jelas. Di kota-kota besar, siswa menikmati kemewahan teknologi; mereka terbiasa belajar dengan bantuan AI, menyusun tugas lewat aplikasi otomatisasi, dan mengikuti kelas-kelas daring interaktif. Namun, di sisi lain negeri, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), pendidikan masih berkutat pada masalah dasar; sinyal internet yang tersendat, harga paket data yang tak terjangkau, hingga keterbatasan perangkat belajar yang layak.

Kesenjangan ini bukan hanya soal fasilitas, tetapi menyangkut peluang masa depan anak-anak bangsa. Saat satu kelompok generasi dididik melalui kurikulum berbasis literasi digital dan berpikir kritis, kelompok lainnya masih bergumul dengan buku usang dan papan tulis kusam. Saat ini, pendidikan Indonesia seperti menggambarkan bahwa keadilan bukan sekadar slogan, tapi perjuangan nyata yang masih jauh dari selesai.

Namun di tengah ketimpangan itu, kita melihat secercah harapan. Banyak komunitas guru di pelosok membuktikan bahwa semangat gotong royong masih hidup. Mereka saling berbagi modul ajar dan menyusun kegiatan belajar berbasis kearifan lokal. Selain itu, mereka juga memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar. Di beberapa desa, sekolah bahkan menjadi pusat komunitas belajar lintas generasi. Komunitas belajar tersebut menyatukan anak-anak dan orang tua dalam proses pendidikan yang menyenangkan.

Dari Hafalan ke Kolaborasi: Membangun Paradigma Baru

Salah satu perubahan paling signifikan yang terjadi adalah pergeseran paradigma pendidikan. Jika selama bertahun-tahun anak-anak kita dibesarkan dalam sistem yang menekankan hafalan dan kepatuhan, kini mulai tumbuh kesadaran bahwa pembelajaran sejati bukan soal mengingat, melainkan memahami. Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai proses satu arah dari guru ke siswa, tetapi sebagai dialog yang hidup dan penuh makna.

Guru kini mulai bertransformasi dari “pengajar” menjadi “fasilitator”. Mereka bukan lagi satu-satunya sumber informasi, melainkan pemandu yang membantu siswa menemukan cara terbaik memahami dunia dan dirinya sendiri. Proyek berbasis kolaborasi, pembelajaran kontekstual, hingga pendekatan diferensiasi mulai diterapkan di berbagai sekolah progresif. Anak-anak diajak menyelesaikan masalah nyata, berpikir kritis, dan bekerja sama lintas latar belakang. Hal ini sejalan dengan konsep Paulo Freire, seorang aktivis pendidikan asal Brazil, tentang "pendidikan yang membebasakan".

Kita harus berani bertanya: pertama,  apakah kurikulum kita benar-benar menjawab kebutuhan zaman.  Kedua, apakah anak-anak merasa bahagia saat belajar, atau justru tertekan oleh tuntutan akademik yang tak manusiawi. Ketiga, apakah para guru yang menjadi ujung tombak Pendidikan mendapat penghargaan dan dukungan yang layak untuk terus berkembang. Semua pertanyaan itu harus dijawab dengan jelas. 

Peran Guru: Antara Harapan dan Beban

Guru adalah jantung dari pendidikan. Namun dalam situasi sekarang, mereka kerap kali terjepit di antara idealisme dan realita. Di satu sisi, mereka diharapkan menjadi inovator, fasilitator, bahkan mentor emosional bagi siswanya. Di sisi lain, mereka juga harus bergulat dengan beban administrasi yang menumpuk, tuntutan asesmen yang berlapis, serta keterbatasan pelatihan yang relevan.

Banyak guru berusaha beradaptasi dengan teknologi, namun tidak semua memiliki akses atau mendapatkan pelatihan memadai. Beberapa bahkan harus menggunakan perangkat pribadi dan biaya sendiri demi mendukung pembelajaran berbasis digital. Keadaan ini membuat kita bertanya: bagaimana mungkin kita menuntut kualitas tinggi dari mereka, jika dukungan yang diberikan belum sepenuhnya memadai. 

Pendidikan sebagai Ruang Tumbuh Anak, Bukan Sekadar Kompetisi

Dalam banyak hal, pendidikan telah berubah menjadi medan kompetisi yang tidak sehat. Siswa dituntut mengejar nilai, ranking, dan sertifikat, kadang tanpa sempat bertanya: apakah mereka nyaman dengan  proses belajar yang dijalani dan apakah  paham arti dari yang dipelajari.

Pendidikan seharusnya menjadi ruang tumbuh yang aman dan menyenangkan. Tempat di mana anak tidak takut salah, tidak hanya belajar agar lulus ujian, tetapi juga agar mengenal siapa dirinya dan bagaimana ia bisa berkontribusi di tengah masyarakat. Pendidikan yang bermakna adalah pendidikan yang membebaskan anak dari tekanan yang membelenggu, dan membimbingnya menemukan potensi terbaik dalam dirinya.Sudah saatnya kita mengganti indikator keberhasilan pendidikan dari sekadar angka menuju kualitas kehidupan. Apakah anak-anak kita mampu berpikir kritis, berempati, menjaga lingkungan, dan menghargai perbedaan? Itulah ukuran pendidikan yang sejati.

Blan juli  menandai lebih dari sekadar awal tahun ajaran. Ia menjadi pengingat bahwa pendidikan bukan proyek instan, melainkan proses panjang yang membutuhkan keberanian, kolaborasi, dan konsistensi. Di tengah krisis, kita melihat peluang. Di balik tantangan, kita temukan semangat perubahan. Harapan akan hidup di ruang-ruang kelas; di komunitas guru yang saling menguatkan; di anak-anak yang tetap semangat belajar meski dengan segala keterbatasan. Pendidikan Indonesia sedang bertransformasi perlahan, tetapi pasti.  Perubahan yang benar-benar berpihak pada anak dan masa depan mereka perlu dikawal, karena di balik setiap anak yang bahagia belajar, ada masa depan bangsa yang sedang dibentuk.

Editor: Ibnu Hasyim

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak